Freddy Setiawan’s Journey

Hanya Sebuah Goresan

Archive for July 19th, 2008

Sebuah Jalan Tak Berujung

Posted by freddysetiawan on July 19, 2008

Hidup adalah gerak, bagi yang tidak mau bergerak maka ia sebenarnya mati
——————————————

Aku paling malas keluar malam mingguan, malam yang benar-benar crowded. Penuh sesak. Itulah kota Jakarta. Menyebalkan sekali. Mobil pun seolah tak berjalan, hanya mengesot ala tokoh hantu indonesia suster ngesot, terlalu perlahan, mengikuti arus yang tak memiliki kepastian kapan akan sampai ke tujuan.

Ini semua gara-gara rekan-rekan seperjuangan yang ngotot untuk keluar di malam mingguan seperti ini, cuci mata-lah, bete di rumah dan kost-lah, belanja-lah, cari awewe-lah. Berbagai alasan yang tidak akan habis bila disebutkan. Padahal aku adalah anak rumahan , tidak terlalu suka dan sering untuk keluar. hahaha

Pokoknya gak ada lagi malam mingguan! kalo mau malam sabtu aja” deklarasiku

Malam sabtu sama aja, gak jauh beda” itu selalu yang menjadi jawaban

kota jakarta tiap malam juga pasti macet.” balas lagi yang lain

Tapi setidaknya gak separah malam minggu” aku membela diri

Kita liat aja nanti, kita usahakan gak keluar malam minggu. hehe

Sebuah jawaban yang tidak memberi jaminan, menandakan esok hal ini masih bisa terjamin

Mataku mulai berat untuk terus bertahan, ingin rasanya memejamkan mata dan tidur, tapi mustahil, kali ini giliranku menjadi sopir, yang terasa lebih parah dalam 1 mobil batangan semua lagi, entah berduaan sama cewek. Bisa jadi sebuah malam yang panjang nan indah. “Ngarep lu fred“.

null

Jika melihat kedepan, mobil-mobil berjejer membentuk sebuah barisan panjang yang tak jelas ujungnya. Hanya busway yang dapat meluncur tanpa halangan di jalannya sendiri. Tapi kami bukan di dalam busway, jadi kami seolah hanya menjadi bagian dari semut panjang yang berbaris, menanti giliran jalan, pulang dan sampai ke rumah.

Aku jadi teringat sebuah berita tentang meningkatnya jumlah orang yang masuk ke rumah sakit jiwa di Jakarta, sebagian besar karena stress. Aku terpikir, pantas saja makin banyak orang stress, jika setiap hari ia terjebak kemacetan, klakson sana sini, belum lagi kriminalitas tinggi, kehidupan yang makin mahal dan keras. Aku jadi berpikir, mungkinkah giliranku akan datang? moga-moga saja tidak terjadi.

Aku yang terakhir pulang kali ini, emang nasib sialku, apes, tapi jalanan sudah mulai lancar, tidak membutuhkan waktu yang lama lagi untuk dapat tiba ke rumah, aku bunyikan tape dengan lagu yang lumayan keras dan volume yang lumayan tinggi agar aku tidak terlalu mengantuk.

Dijalan pulang, aku melihat seorang ayah dan seorang anak dengan pakaian seragam merah putih (Sekolah Dasar) diatas motor, mereka dengan masing-masing berbalut jaket, tampaknya sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah. Aku berpikir sejenak, ada banyak kemungkinan yang terpikirkan, bisa saja anak tersebut bersekolah sore hari, baru bisa sampai ke rumah jam-jam seperti sekarang ini. Ataukah ia menunggu di tempat kerja bapaknya, pulang bersama dengan ayah tercinta. Ataukah ia dari rumah saudaranya. Ataukah ia ini. Ataukah ia itu. Terlalu banyak untuk aku tuliskan dan aku sebutkan. Yang pasti aku tidak dapat membayangkan betapa dingin dan menusuknya angin malam seperti ini, Namun dari yang aku lihat, aku yakin dan percaya, begitu tegarnya mereka dalam menempuh hidup. Jujur, aku merasa kalah, sangat telak, aku merasa terlalu sering merasa tangguh sebagai petualang dan petarung, namun sebenarnya aku hanyalah orang tidak pantas sama sekali disebut tangguh, apalagi melihat kerasnya kehidupan.

Hidup adalah gerak, bagi yang tidak mau bergerak maka ia sebenarnya mati. Mungkinkah aku telah mati, mati dalam angan-angan di sebuah jalan tak berujung.

Posted in Sebuah Perjalanan | Tagged: , | Leave a Comment »